Search This Blog

Tuesday, February 27, 2018

The Storied Life of A.J Fikry, Kutu Buku juga Manusia



Judul: The Storied Life of A.J Fikry
Pengarang: Gabrielle Zevin
Penerjemah: Eka Budiarti
Penyunting: Rosi L. Simamora
Sampul: Martin Dima
Cetakan: Pertama, Oktober 2017
Tebal: 277 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


Bahkan seorang kutu buku pun butuh teman manusia karena tidak selamanya buku-buku bisa menjadi teman. Faktanya, dalam banyak sekali kesempatan, kutu buku masih tetap membutuhkan keberadaan manusia lainnya. Mungkin, inilah yang hendak disampaikan novel The Storied Life of A.J. Fikry. Tidak seperti buku saudaranya ‘Perahu Kertas’ yang idealis kebablasan itu, novel karya Gabriele Zevin ini bisa dibilang lebih realis. Ia tidak hanya mengangkat obsesi seorang pecinta buku yang kebetulan juga pemilik sebuah toko buku. Lebih dari itu, novel ini seolah membawa para kutu buku kepada kenyataan. Dia membenturkan dunia seorang kutu buku nan introvert dengan dunia nyata di luar yang serba-ekstrovert dan terjangkit gejala kepo akut. Memang benar, menjadi soerang kutu buku bukanlah sebuah dosa, begitu juga menjadi sendirian juga bukan dosa. Tetapi, dunia nyata faktanya belum seramah itu kepada mereka yang sendirian. Ada orang-orang lain di luar lingkaran yang menuntut untuk diperhatikan, tetangga-tetangga baik tapi terlalu ingin tahu,  serta terutama orang-orang yang kita mengharapkan uangnya. A.J Fikry belajar semua itu melalui cara yang menakjubkan.

“... dengan seluruh waktu yang kugunakan untuk membaca, aku belajar cara menulis buku dengan lebih menarik.” (hlm. 123)

Sebelum kedatangan Maya, hidup Fikry tidak ubahnya dengan timbunan para kutu buku lain: berantakan. Selain jadi judes pada semua orang (termasuk pelanggannya), pria 39 tahun itu juga terjerat dalam konsumsi alkohol serta makan makanan sampah. Kehidupannya menjadi sedemikian apatis sejak kematian istrinya. Satu-satunya yang tidak berubah dari dirinya mungkin kecintaannya kepada buku. Semua itu berubah ketika pada suatu malam, si Maya ini tiba-tiba digeletakkan begitu saja di dalam toko bukunya. Maya adalah balita berusia dua tahun yang ceriwisnya minta ampun. Bersama Maya si Balita, disertakan juga selembar kertas bertuliskan permintaan dari sang ibu agar bayi itu dibesarkan dalam lingkungan toko buku. Dengan kata lain, Fikry harus mengadopsi balita itu. Bayangkan betapa senewen sekaligus bingungnya tokoh ini. Seorang lajang dengan kehidupan amburadul tapi diserahi amanah untuk membesarkan seorang balita. Sepertinya, sang ibu keliru meletakkan bayinya, tetapi ternyata tidak. Tuhan Maha Misterius, dan kadang lewat hal-hal tak masuk akal seperti inilah Dia mengubah kehidupan hambaNya. A.J. Fikry termasuk yang mendapatkan anugrah itu.

“Maya, kita adalah yang kita cintai. Kita menjadi diri kita karena kita mencintai.” (hlm. 265)

Keberadaan Maya seperti menggembalikan Fikry pada fitrahnya sebagai manusia. Balita itu benar-benar membawa perubahan besar kepada si pemilik toko, juga kepada orang-orang di pulau Alice—pulau kecil tempat seluruh cerita ini berlangsung. Jika sebelumnya Island Book (toko buku milik Fikry) menjadi tempat yang dihindari, kini tempat itu menjadi ajang ngerumpi ibu-ibu yang insting penasarannya langsung tergerak saat ada gosip hangat: bayi yang diasuh lajang serampangan, misalnya. Maya juga mendekatkan Fikry dengan orang-orang lama yang selama ini jarang mendapatkan perhatiannya. Melalui Maya, Fikry belajar untuk menjadi manusia yang tidak kaku, untuk menjadi kutu buku yang masih mempertahankan nilai-nilai manusiawinya. Lebih-lebih lagi, Maya mengajarkan kepada pria itu—juga kita semua—bahwa menjadi seorang kutu buku tidak kemudian berarti menghilangkan orang-orang terdekat dan menggantinya dengan buku-buku kesayangan. Bahwa seorang kutu buku, sebagaimana pelatih sepak bola, atau musisi, atau peneliti, dan semua bidang lainnya di dunia, masihlah seorang manusia dan mereka juga membutuhkan manusia yang lainnya.

“Terkadang buku-buku tidak menemukan kita di saat yang tepat.” (hlm. 101)

Inilah buku tentang buku yang lembut, yang lebih menekankan pada nilai-nilai tentang menjadi manusia ketimbang pada idealisme seorang pecinta buku. Bahwa sebuah buku bisa menjadi menarik ketika dia diantarkan ke tangan pembaca yang tepat, juga dibuktikan di buku ini. Juga, bahwa sebuah toko buku adalah sebuah tempat yang menyenangkan ketika ia tidak menyepi dari sudut perhatian masyarakat. Sebuah toko buku seharusnya menjadi bagian dari masyarakat agar masyarakat bisa semakin banyak membaca buku, dan bukannya mencoba ‘berbeda’ dengan idealismenya sehingga membuat toko buku semakin menjauh dari masyarakat. Kita menantikan, saat-saat ketika toko buku menjadi sama pentingnya dengan minimarket 24 jam, dengan pemandangan para pengunjung yang antre membeli buku terbaru di kasir pembayaran. Atau jika semua itu terlalu muluk, cukuplah sebuah toko buku bisa menjadi tempat yang hangat bagi setiap pengunjungnya (entah mereka membeli atau tidak), tempat mengobrol yang menyenangkan (meski tidak selalu tentang buku), dan dimiliki oleh para kutubuku sejati yang tidak melupakan kemanusiaan dalam dirinya: seperti AJ Fikry, Maya, Amelia, Lambiase, dan semua karakter hebat dalam buku ini. 

 “Toko buku menarik jenis orang yang tepat. Orang-orang baik seperti A.J dan Amelia. Dan aku senang mengobrol tentang buku. Aku menyukai kertas. Aku suka rasanya, dan aku suka rasa buku terselip di saku belakangku. Aku juga suka aroma buku baru.” (hlm 269)

Selain unsur-unsur ‘kutu buku juga manusia’ di atas, buku ini juga tidak melewatkan membahas semua pernak-pernik dunia buku. Berbagai hal tentang buku yang akan disukai seorang pembaca buku bisa kita temukan di dalamnya, termasuk berbagai jenis pekerjaan yang terkait dunia buku. Ada penulis buku, editor buku, dan tentu saja penjual dan pembeli buku. Pembaca juga bisa sedikit banyak merasakan serunya bekerja di dunia buku, seperti bagaimana penulis menulis karyanya, bagaimana penulis mengamati laris-tidaknya karyanya di pasaran, cara seorang agen menawarkan bukunya, juga tentang serunya memiliki klub buku. Sebagai penutup, semua itu tidak akan lengkap tanpa adanya sebuah toko buku tempat semua hal menakjubkan di buku ini bermula. Seperti sebuah kalimat teramat indah yang tertera dalam novel ini: Sebuah tempat kurang sempurna tanpa toko buku.” (hlm. 212)


6 comments:

  1. Sayangnya, di kota saya masih belum ada perubahan konsep toko buku agar menjadi tempat yang 'anak muda' dan seru. Gambarannya masih kolot. Nah, saya tidak tau di buku ini pun ada detail toko buku yang bagus dan kekinian itu seperti apa. Apakah harus ada cafenya, atau desain gedung yang penuh gairah muda, atau pilihan bukunya yang spesifik?

    Belum membaca padahal tinggal download aja di Gramedia Digital. Hanya saja di sana terlalu banyak buku baru yang pengen dibaca, akhirnya ketinggalan lagi dan lagi...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau menurutku, tergantung pemilik toko bukunya ingin membuatnya menjadi seperti apa. Karena toko buku itu seperti rumah impian. Jadi, suka-suka pemiliknya ingin membuatnya seperti apa.. :)

      Awalnya, aku juga lihat dari Gramedia Digital karena kelihatannya seru. Akhirnya, beli fisiknya :DD

      Delete
    2. Kalau tema buku di dalam buku.
      Lebih suka, Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta.
      Latarnya itu bikin seger mata dan hati hahahaha

      Sepenjuru mata memandang isinya hutan semua hahahaha

      Delete
    3. Coba dibaca aja deh, nggak nyesel kok. Pendekatannya mungkin lebih ke toko yang sangat memanusiakan para pembelinya sampai ada klub buku rutinnya segala.

      Delete
    4. endangcippy iya aku juga seneng sampulnya ijo seger banget

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete