Search This Blog

Wednesday, May 3, 2017

Pasar, sebuah Novel Sastra Sosiologis

Judul: Pasar
Pengarang: Kuntowijoyo
Sampul: Buldanul Khuri
Cetakan: 1, Februari 2017
Tebal: 378 hlm
Penerbit: DIVA Press dan Mata Angin





Pasar membawa kita kepada alam pedesaan di Jawa tahun 1970-an, ketika segala sesuatunya masih tampak sederhana, ketika dunia tidak lebih lebar dari pasar kecamatan, dan ketika omongan orang menjadi semacam hukum tak tertulis yang dampaknya sangat kuat. Seperti yang digambarkan dengan begitu apik oleh Kuntowijoyo lewat novel Pasar ini. Unsur ‘orang Jawa’ begitu kuat di dalam buku ini, bukan kemudian buku ini untuk mengagung-agungkan orang  Jawa, tetapi sebagai semacam catatan sosiologis tentang perubahan sosial yang dialami orang Jawa pada tahun 1970-an yang dituliskan dalam bentuk sastra. Lewat Pasar, penulis menyimpan sekeping data sosiologis dari sebuah masyarakat kecil di pelosok Jawa dalam bentuk naratif. Bentuk novel seperti ini tentu akan lebih enak dinikmati ketimbang membacanya dalam bentuk laporan.  Kekuatan Kuntowijoyo sebagai dosen antropologi sekaligus sastrawan telah terkukuhkan sepenuhnya lewat Pasar ini. Sastra-sosiologi, mungkin memang inilah istilah yang tepat untuk menyebut PASAR.

"Sebaik-baik perbuatan adalah melihat diri sendiri, mawas diri." (hlm. 10)
Pasar berkisah tentang Pak Mantri Pasar, sosok priyayi yang menjadi panutan di sebuah pasar kecamatan di pelosok desa di Jawa. Pak Mantri dipandang priyayi bukan karena keturunan, tetapi lebih karena kepribadiannya. Semua yang baik-baik dari orang Jawa ada padanya: hidup jujur, setia, sopan santun, tahu diri. Dari mulutnya, sering muncul petuah-petuah khas yang merakyat sekaligus mendalam maknanya. Di sepanjang membaca Pasar, ada begitu banyak kalimat-kalimat Pak Mantri Pasar yang sangat layak kutip, bahkan mulai di halaman pertama pun pembaca sudah bisa menemukannya: “Orang itu bukan garam, maka jangan dianggap sama asinnya.” Berkat kepandaian ilmunya, juga tingginya budi pekertinya, Pak Mantri Pasar dianggap tidak hanya sebagai mantri pasar, tetapi dia adalah panutan. Sosoknya melambangkan kaum priyayi dengan watak istimewa sehingga layak diistimewakan.

"Tidak ada lagi orang Jawa yang lain. Juga camat, juga kepala polisi. Ah, tahunya apa camat-camat sekarang. membuat candrasengkala mesti ke Pak Mantri Pasar. Inilah kelirunya. Zaman dulu pegawai itu mesti tahu sastra. Bukan sekadar bisa baca tulis."

Kemudian, Kuntowijoyo memperbenturkan nilai-nilai priyayisme orang Jawa ini dengan perkembangan zaman. Pasar yang dulu teratur dibawah emongan Pak Mantri sedikit mulai bertambah ruwet. Orang-orang baru berdatangan. Anak muda masuk membawa pemikirannya sendiri yang sering kali tak mau kompromi. Belum lagi dengan datangnya pemilik modal yang mengubah tatanan ekonomi para warga pasar. Pasar pun mengalami pergolakan sosial akibat adanya perubahan sosial. Bisakah nilai-nilai Jawa—yang terwakili oleh sosok Pak Mantri Pasar—masih sanggup bertahan dalam gempuran nilai-nilai baru yang mulai masuk ke Indonesia pada sekitaran tahun 1970-an? 

"Dendam itu sesaat. Cinta itu kekal."

Benturan sosial inilah yang digambarkan dengan apik dalam novel ini. Empat tokoh utamanya masing-masing mewakili empat kelompok yang mengalami  benturan tersebut. Sosok Pak Mantri mengambarkan kegamangan kelas priyayi dalam menghadapi berubahnya zaman pada era tahun 1970-an. Sementara kaum muda yang mulai melupakan tradisi atas nama efisiensi diwakili oleh Siti Zaitun, juru ketik di bank pasar. Gadis ini juga mewakili kelas birokrat yang hanya suka cari aman, cari cepat, cari asal beres.Sosok Kasan Ngali adalah kelas pemodal yang masuk ke pasar dengan membawa modal besar dengan tujuan untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Selain itu, ada golongan lain yang juga turut terpengaruh oleh perubahan sosial tersebut namun sedikit sekali yang bisa mereka lakukan terkait hal itu. Mereka adalah para warga jelata yang diwakili oleh sosok Paijo yang polos.

"Burung-burung tak bisa bersalah. Mereka memang tak punya otak. Mestinya orang-orang lah yang menggunakan otaknya. Kalau punya beras, ya ditutup." (hlm. 28)

Ketika perubahan sosial besar-besaran melanda dunia, termasuk Jawa-nya Indonesia di tahun 1970-an, apa yang terjadi pada keempat golongan tersebut? Kuntowijoyo secara apik merekam fenomena perubahan sosial ini lewat novel Pasar. Fenomena menarik ini dikisahkan dengan jenaka tetapi tetap kaya akan makna. Istimewanya lagi, Kuntowijoyo menggambarkan setting pedesaan Jawa di tahun 1970-an dengan begitu jelas, kita serasa sedang diajak untuk bernostalgia. Latar dan setting pasar di pedesaan Jawa digambarkan sedemikian detail, pembaca seperti tengah menonton film tahun 70-an dalam bentuk tulisan.

"Orang Jawa harus suka sastra." (hlm. 355)
 
Selain kekuatan utama di setting dan latar, PASAR juga kuat dalam penyampaian nilai-nilai moral yang disampaikan secara tidak menggurui. Sesekali, penulis malah menyampaikan nilai moralnya lewat ungkapan-ungkapan yang ringan dan kadang ceplas-ceplos khas priyayi Jawa, ini yang bikin PASAR enak dibaca sambil santai.Selain enak dibaca ceritanya semata tanpa harus mengeryitkan kening, PASAR juga bisa jadi bahan studi untuk riset tentang kemasyarakatan di Jawa. Jadi, selain layak dikoleksi kalangan akademisi dan peneliti, PASAR juga bisa kok dinikmati para pembaca awam macam kita ini. Setelah membaca novel ini, walau agak senewen dengan sikap sok priyayinya, saya kok malah semakin kagum pada sosok Pak Matri Pasar. Ini novel yang sungguh hebat. Dikisahkan secara sederhana tetapi sesungguhnya begitu kaya akan makna.

No comments:

Post a Comment