Search This Blog

Saturday, February 11, 2017

Calamity, Akhir dari Kegelapan Para Epic

Judul: Calamity
Pengarang: Brandon Sanderson 
Penerjemah: Putra Nugroho
Cetakan: 1, Desember 2016
Tebal: 571 hlm
Penerbit: Mizan Fantasi

33848545

"Pahlawannya pasti akan datang, Nak. Tetapi terkadang, kita harus membantunya." (hlm. 447)

Dalam buku buku kedua trilogi The Reckoners karya Brandon Sanderson, David berhasil mengetahui bagaimana cara mencegah berubahnya para epic agar mereka tidak menjadi manusia super yang egois dan super congkak. Kekuatan besar yang telah mengorupsi jiwa ternyata masih bisa dilawan dengan keberanian untuk menghadapi ketakutan terbesar setiap Epic. Inilah yang akan membuat kegelapan mundur. Masalahnya, ketakutan setiap epic juga merupakan sumber kelemahan mereka. Dampaknya, kekuatan mereka ternegasikan alias tidak berfungsi setiap kali ada yang berhasil menemukan sumber ketakutannya. Inilah yang bikin Steelheart membasmi semua saksi mata di buku buku pertama. Sayangnya, pengetahuan ini tidak diperoleh secara gratis.  The Reckoners harus kehilangan Prof yang terjatuh dalam kegelapan karena terkorupsi oleh kekuatannya sendiri akibat tipu daya Regalia. Sekarang, David dan kawan-kawan harus bisa membujuk Prof untuk menghadapi ketakutannya sendiri, atau dunia akan musnah di tangan seorang High Epic baru yang tak kalah kuatnya dengan Steelheart.

"Ketakutan lah yang pertama muncul, kemudian diikuti kelemahan. Bukan sebaliknya."  (hlm. 71)

Kadang, saya merasa lebih terkesan pada setting latar dari sebuah cerita ketimbang ceritanya itu sendiri. Setting buku ketiga ini mengambil di pedalaman Amerika Utara, atau kawasan Fractured States, tepatnya di kota Atlanta. Setelah Calamity, kota itu bernama Ildithia. Penulis sepertinya menaruh perhatian besar pada kota-kota unik di buku ini. Jika Newcago  seluruh gedungnya berubah jadi baja, atau Babilar yang setengah terbenam dalam air, maka Ildithia terbuat sepenuhnya dari garam. Selain itu, Ildithia bisa bergerak secara harfiah. Kota garam ini merambat pelan dengan kecepatan konstan, membangun dan menumbuhkan bangunan-bangunan baru dari garam di bagian depan serta meninggalkan reruntuhan garam di belakang.  Sama seperti Babilar yang keanehannya bikin saya kagum, kota Ildhitia ini juga bikin saya terpesona. Keren ya idenya? Nah, kota garam ini dikuasai serta dijalankan oleh seorang High Epic bernama Lancener yang mampu mengambil kekuatan epic lain. Prof yang sudah dikuasai oleh kegelapan berusaha untuk mengambil alih Ildithia dari Lancener. Tugas David jelas semakin berat.

Ini bukan hanya menghadapi ketakutan, tetapi mengalahkannya, untuk menyelamatkan seseorang."  (hlm. 560)
   
Buku ketiga ini merupakan penutup dari trilogi The Reckoners sehingga banyak pertanyaan penting yang terjawab. Salah satu yang terpenting, siapa sebenarnya Calamity itu? Di mana dia berada? Bisakah dia dikalahkan? Selain berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan penting terkait Calamity, cerita besar di buku ini adalah seputar pertarungan antara Reckoners melawan Prof yang kini sudah punya pengikut baru di Ildithia. Muncul juga tokoh protagonis baru tapi rada nyebelin yang bakal membantu David dan timnya dengan teknologi canggih yang dimilikinya. Secara singkat, adegan-adegan pertempurannya masih sama asyik dengan dua buku sebelumnya. Dari segi kompleksitas cerita, seri ini juga semakin oke bila dibanding dua buku sebelumnya. Yang bikin lebih greget adalah banyaknya twist yang bertebaran di buku ini. Banyak yang tidak tertebak tapi anehnya bikin buku ini semakin asyik dinikmati. Belum lagi, karakter David dengan perumpamaannya yang sering kali random abis. Tapi, ini yang bikin karakter David ini tak terlupakan.

"Kau adalah apa pun dirimu. Dan hanya itu yang penting." (hlm. 79)

Selain ceritanya yang unik, kekuatan para epic dengan segala keajaiban yang mereka lakukan di buku ini (minus membunuhi manusia biasa saat sedang galau atau bosan) adalah satu hal yang bikin buku ini menarik. Kerennya lagi, penulis tidak semata menulis kisah fantasi. Dalam seri ini, pengarang menyampaikan kepada kita tentang banyak hal yang memotivasi, tentang kemanusiaan, tentang rasa tanggung jawab, juga tentang pentingnya berusaha lewat tokoh-tokoh manusia yang manusiawi. Seperti kata David, ... bahwa jauh di dalam hatinya, manusia bukanlah monster? Bahwa kami memiliki kebaikan. Pada akhirnya, para epic juga awalnya manusia biasa dan mereka juga memiliki kelemahannya sendiri. Sebaliknya, para epic juga bisa menjadi pahlawan. David akhirnya menemukan jawaban mengapa ada epic yang tidak menyerah pada kegelapan. Karena manusia tidak menyerah.

"Kami memang sudah dikalahkan. Tetapi kami tidak gagal, Jonathan. Gagal adalah menolak untuk bertempur. Gagal adalah diam dan berharap ada orang lain yang memperbaiki masalah." (hlm. 525)

Akhir yang EPIK untuk para epic! Memuaskan! Benar-benar menyenangkan mengikuti seri ini.

No comments:

Post a Comment