Search This Blog

Thursday, July 30, 2015

Dia adalah Dilanku Tahun 1990

Judul: Dia adalah Dilanku Tahun 1990
Penulis: Pidi Baiq
Penerbit: DAR Mizan
Tebal: 334 hlm


 22037542

"Milea, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja."

-Dilan-

Saya penasaran sekali saat membaca review teman-teman tentang novel Dilan ini. Judulnya saja 'aneh' gitu, mana ada embel2 tahun 1990 lagi, jadul banget itu, saya saja masih lulus TK nol besar hihihi *eh katahuan. Tapi, godaan itu datang dalam bentuk rayuan Dilan yang entah mengapa kok nggak kepikiran pas saya SMA dulu ya? Beud, Dilan ini ampun deh, pede dan agak bandel plus kreatif dan suka baca sastra pula. Kamarnya saja penuh dengan tumpukan buku (kamar saya juga penuh tumpukan buku loh, tapi kok saya ngak seromantis Dilan ya?) sampai-sampai Milea kaget, tidak menyangka pemuda seberandalan Dilan bisa suka baca sastra.

Sebenarnya, Dilan ini semakin ke belakang semakin mirip dengan tokoh-tokoh idola remaja tahun 1990-an. Agak nakal, berkecukupan secara materi, gokil, romantis, suka baca. Sedikit mengingatkan saya pada sosok Lupus, Roy, dan Boy. Semua tokoh fiktif ini laris manis di era tahun 1990-an dan semacam menjadi idola para remaja gitu. Awalnya, saya takut membaca buku ini: takut muncul banyak plothole, takut jadulnya dibuat-buat, takut harga bukunya mahal hihhihi. Berbeda dengan Balada si Roy dan serial Lupus yang memang ditulis pada era 1990-an, serial Dilan ini ditulis pada era kekinian, jadi saya takut aroma jadul itu bakal menguap entah kemana.

Ternyata tidak. Penulis pandai banget menggunakan Dilan untuk mengambil hati pembacanya. Kita seakan lupa sedang membaca cerita kisah kasih di sekolah tahun 1990 yang jadoel bingits itu. Penulis juga mengajak pembaca bernostalgia dengan Bandung tempo dulu, mungkin ini satu-satunya fitur yang digunakan penulis untuk mengingatkan pembaca bahwa mereka sedang membaca kisah dari tempo doloe. Untungnya, ini Dilan memang mercusuar banget. Alih-alih nanya ini dan itu, pembaca seperti seolah diajak berfokus pada sosok Dilan yang memang kebangetan banget romantisnya ini. Sementara cowok lain biasanya memberi kado berupa bunga atau cokelat untuk pacarnya, la si Dilan ini malah kasih kado buku tekateki silang coba!

"Selamat ulang tahun, Milea.
Ini hadiah untukmu, cuma TTS.
Tapi sudah kuisi semua.
Aku sayang kamu
aku tidak mau kamu pusing
karena harus mengisinya.
Dilan!"

Set, dah.... saya dulu pas SMA juga suka beli TTS sih, tapi buat tanding sama tetangga (plus ngincer stiker #uhuk yang sering nyelip ngak sopan itu, dulu harganya masih Rp500, sumpeh itu buku mureh banget tapi kelarinnya sebulan wkwkwk) dan bukannya dikasih ke cewek. Ini si Dilan gokil bener emang idenya. Sederhana tapi ngena, kayaknya itu yang disuka cewek dari Dilan.

Sayangnya, sosok Dilan ini semakin ke belakang kok semakin tidak khas ya? Ketika tahu Dilan suka Rendra dan memiliki timbunan buku di kamarnya, sosok berandal romantis ini seperti dipaksa untuk kayak jadi Roy dan Lupus, jadinya, hilang sudah sosok unik itu. Dilan jadi semakin serupa dengan dua cowok idola gadis belia era 1990an itu. Tapi, untungnya, kenakalan Dilan balik lagi menjelang belakang-belakang. Saya suka sekali dengan cara Dilan yang suka mengulangi perkataannya ketika dia menginginkan sesuatu (yang cara ini kemudian ditiru sama Milea). Mau tak mau, orang yang diminta bakal luluh juga (dan Dilan pun kena batunya ketika diajak Milea jalan-jalan demi agar dia tidak ikut tawuran). Hal-hal khas beginilah yang membuat Dilan terasa baru meskipun dia bermasa era jadul.

Nice book.

No comments:

Post a Comment