Search This Blog

Wednesday, September 28, 2016

Wisanggeni, Buronan Para Dewata

"Perhatikanlah, Wisanggeni, bahwa kekuatan batin bisa mengendalikan yang lahir." (hlm. 92)

Tidak selamanya kisah dari dunia pewayangan disajikan dengan sedemikian monoton dan tanpa greget sehingga membuat penonton hanya menantikan bagian 'uyon-uyon' dengan godaan sinden seksi dan candaan si dalang muda yang kadang menyerempet agak porno. Ada alasan mengapa wayang menjadi sedemikian istimewa, pementasan cerita wayang megandung kandungan hikmah dan filosofi tentang kehidupan  yang sedemikian adi luhung. Sungguh akan sangat sayang kalau generasi muda Indonesia tidak tertarik dengan salah satu bukti puncak pencapaian nonbendawi dari bangsa ini.  Ada satu cara asyik mengenalkan kembali kehebatan wayang kepada pembaca muda, yakni dengan menuliskannya ulang dalam bahasa yang lebih populer tanpa harus kehilangan ketinggian maknanya. Dan, siapa lagi yang lebih layak menunaikan tugas ini kalau bukan para sastrawan?

Seno Gumira Ajidarma, beberapa dari kita mengenalnya sebagai sastrawan 'pemilik senja.' Tidak disangka, di sela-sela jadwal padatnya, beliau masih sempat menulis tentang dunia perwayangan. Penulis keren sih gitu, masih sempet nulis meskipun lemburan dan tenggat waktu datang menghadang. Selain buku ini, Kitab Omong Kosong adalah buku lain karya beliau yang juga menggambil kisah tentang perwayangan. Yang lebih kerennya lagi, di buku tipis ini kita juga menemukan ilustrasi-ilustrasi keren karya Danarto. Iya, Danarto yang juga cerpenis dan seniman itu menorehkan dalam buku ini ilustrasi-ilustrasi futuristik dan egaliternya tentang tokoh-tokoh pewayangan. Bahkan Seno sendiri memuji lukisan Danarto di buku ini sebagai sesuatu yang baru dan mengentak. Tetap wayang tapi ada sesuatu yang terasa futuristis dan non strerotif dari lukisan-lukisan Danarto ini.

Apa jadinya ketika dewata tidak menginginkan anak dari hasil pernikahan antara manusia dan bidadari? Hasilnya adalah kisah Wisanggeni.  Lahir sebagai buah cinta atas pernikahan Arjuna dengan Dewi Dresanala, Wisanggeni ditolak oleh kahyangan dengan alasan keberadaannya akan menjatuhkan martabat para dewa sehingga diupayakan segala cara untuk menghilangkannya. Tidak berapa lama setelah kelahirannya, Batara Brahma menculik dan meracuni wisanggeni, kemudian menjatuhkan si bayi kecil ke tengah samudra. Maka bergolaklah samudra dengan api dan wisa (bisa), dan dari dua kata inilah Wisanggeni dinamai. Kemudian, sai bayi Wisanggeni dirawat oleh Betara Baruna dan Sang Hyang Antaboga yang menguasai lautan, mendidik dan mengajarkan beragam laku serta ilmu kanuragan kepadanya. Menjelang dewasa, pemuda Wisanggeni menjadi hampir tak terkalahlan. Dimulailah penggembaraan mencari jawab keberadaan orang tuanya.

Dalam penggembaraan inilah Wisanggeni ditetapkan sebagai buronan langit. Tidak terhitung berapa kali dia harus menghadapi utusan para dewa. Semuanya berhasil dia libas dan kalahkan dengan gampang. Hampir-hampir tidak ada tanding buat Wisanggeni, bahkan Batara Guru yang menjadi penguasa semesta saja dikejarnya hingga di beragam alam. Hanya Kresna, titisan Wisnu yang bisa menghentikan amuk Wisanggeni. Diceritakannya riwayat kehidupannya, juga takdir yang harus dijalaninya. Dan di buku ini, kita membaca sebuah kisah tentang sosok yang terpaksa harus dihilangkan dari dunia perwayangan. Karena proses kelahirannya, keberadaan Wisanggeni harus dihapuskan agar dunia perwayangan bisa tetap berjalan dengan semestinya. 

Luar biasa, tidak sampai satu jam waktu yang dibutuhkan untuk membaca novel tipis ini, tetapi efek yang ditimbulkan menetap selama berjam-jam di kepala saya. Saya memang belum membaca Kitab Omong Kosong yang tebal itu. Tapi, jika buku itu sedahsyat novel Wisanggeni ini, maka saya akan langsung memasukkannya dalam daftar beli *lupakan timbunan. Membaca novel ini sama sekali tidak terasa seperti membaca cerita pewayangan yang pelan dan serba tinggi. Malahan, membaca buku ini tidak ubahnya membaca buku fantasi tentang dewa-dewi. Beberapa hal dalam novel ini seperti mengingatkan saya pada mitologi Yunani, semisal kemiripan antara Wisanggeni dan Hercules yang--selain sama-sama putra dari dewa dan manusia--diburu oleh dewata. Dalam sebuah buku, saya pernah membaca bahwa mite Yunani kuno dibangun oleh mitos India kuno, karena itulah dewa-dewi mereka hampir mirip. Apakah ini benar? Kayaknya bakal seru kalau ada penulis yang mengulasnya. 





Judul: Wisanggeni, Sang Buronan
Pengarang: Seno Gumira Ajidarma
Ilustrasi: Danarto
Editor: Muhajjah Saratini
Tebal: 108 hlm
Cetakan: 1, 2016
Penerbit: Laksana

No comments:

Post a Comment