Search This Blog

Thursday, January 21, 2016

Kasus-Kasus Perdana Poirot



Judul: Kasus-Kasus Perdana Poirot
Pengarang: Agatha Christie
Penerjemah: Lany Wasono
Cetakan: 6, Agustus 2007
Penerbit: Gramedia

(gambar: bacaanbzee.files.wordpress.com)


Hercule Poirot, detektif terhebat di abad kedua puluh dalam kisah rekaan Tante Agatha Christie, memiliki basis penggemar fanatic yang mungkin kadarnya bisa ditandingkan dengan penggemar Sherlock Holmes. Kalau saja belum ada Ben Cum yang memerankan Sherlock, kayaknya dua kelompok bias eh penggemar ini bisa saling gontok-gontokan demi mengangkat idola masing-masing. Saya terlebih dulu mengenal Holmes ketimbang Poirot, sehingga inilah yang menjadikan saya lebih ke Sherlockian ketimbang Poirotisme (halah), sementara teman saya yang lebih dulu membaca Poirot ketimbang Sherlock juga begitu memuja detektif karya Tante Agatha. Apakah perjumpaan pertama mempengaruhi kecenderungan ini? Dalam artian mereka yang lebih suka Sherlock menyukainya karena mereka terlebih dulu membaca karya Sir Athur Conan Doyle ini ketimbang membaca Agatha Christie? Entahlah.


                Perkenalan saya dengan Sherlock adalah ketika hendak mencari bahan skripsi di semester 5 kuliah dulu, dan saya langsung menyukai sosok detektif ini. Kemudian, setelah, teman saya yang pro-Poirot meracuni saya untuk juga mencoba menyukai Hercule Poirot (yang langsung saya ladeni dengan senang hati lewat menimbun karya-karya Agatha Christie), perlahan saya mulai mengakui kalau baik Sherlock Holmes maupun Hercule Poirot memiliki magnet tersediri untuk segera menjadi tokoh favorit para pembaca dunia. Jika mau objektif, baik Holmes maupun Poirot punya karakter yang hampir mirip, Sherlock dengan perfeksionismenya serta Poirot dengan keteraturannya. Dua tokoh ini sama-sama unik, nyentrik dan di saat yang sama memiliki kemampuan berpikir yang luar biasa. Tidak heran dua-duanya punya banyak penggemar di dunia.

Kalau mau kenalan awal sama Poirot, buku kumcer ini bisa jadi pilihan yang tepat. Walau di sini, dengan keberadaan Hasting (yang mengingatkan saya pada Watson) agak terasa kemiripan dengan Sherlock Holmes. Beberapa kasus dalam buku ini juga mengingatkan saya pada beberapa kasus Sherlock, seperti misalnya kasus “Rancangan Kapal Selam” (hlm. 222) dan Pemerasan dengan “Wanita Berkerudung” (hlm. 327), tapi tentu saja dengan ending mengejutkan khas Agatha Christie. Membuka kasus pertama di buku ini sendiri akan langsung mengingatkan pembaca pada cara bercerita dalam Sherlock Holmes. Doyle menggunakan sudut pandang orang kedua yakni, Watson, yang mengisahkan sepak terjang sahabatnya itu. Sementara dalam buku ini, Kapten Hasting lah yang bertugas menceritakan penyelidikan Poirot. Cara keduanya menerima tamu juga sangat mengingatkan saya pada Sherlock. 

Namun, meskipun terkesan ‘mirip’, di saat yang sama Agatha Christie seperti hendak meyindir seniornya lewat tokoh ini. Poirot dalam buku ini--seperti kata Mbak Ajjah--seperti bentuk 'pemberontakan Agatha' terhadap dominasi Holmes pada paruh pertama abad kedua puluh. Bahwa "Hercule Poirot" tidak bekerja seperti itu, ada cara-cara yang lebih praktis tanpa harus repot-repot menyamar atau mendatangi lokasi atau kudu punya tubuh yang jangkung dan kuat selama kita tetap memiliki pikiran yang metodis. Yang suka baca Holmes pasti tahu kalau detektif nyentrik ini suka sekali terjun langsung ke TKP untuk menyelidiki (kadang lokasinya jauh sekali) atau repot-repot menyamar. Dalam beberapa kasus, Holmes sendiri sampai harus mempertaruhkan nyawanya demi menyelesaikan sebuah kasus. Sementara Poirot, yang oleh Agatha digambarkan sebagai pensiunan detektif dan sudah berusia cenderung tua, lebih mengutamakan penggunaan pikirannya yang metodis. Bahkan dalam buku kumcernya ini, jarang sekali Poirot harus turun tangan langsung demi menemukan si penjahat. Semua alur seperti sudah tercetak dalam pikirannya dan dengan gayanya yang khas, Poirot akan mendekati si pelaku dan mengungkapkan kejahatannya. Hanya sekali di buku ini ketika Poirot harus repot-repot bertindak, yakni di kasus “Wanita Berkerudung’.  

Beberapa cerita di buku ini memiliki ending tambahan yang tersembunyi, saya sampai kepikiran berhari-hari dan mendiskusikannya dengan Mbak Ajjah. Contohnya saja di kasus terakhir ‘Apa Saja Isi Kebunmu?’ Perhatikan judulnya yang mengindikasikan sesuatu, lalu baca kalimat-kalimat terakhir di cerita tersebut ketika Poirot memandangi taman bunga dan seolah meminta maaf kepada bunga-bunga karena akan merusaknya. Ada sesuatu yang dikubur di bawah bunga-bunga itu, dan bukan sekadar cangkang tiram. Ayo tebak apa wkwkwk. Juga di kasus Warisan Dinasti Lemesurier (yang jelas sekali mengingatkan pembaca pada ‘Kutukan Keluarga Baskerville’) ketika si pelaku yang ternyata adalah ******* sendiri. Perhatikan di ending cerita, tentang si calon korban yang ternyata juga berambut merah. Siapakah tokoh lain yang berambut merah di kisah ini. 

Saya belajar untuk menyukai Poirot, meskipun Holmes tetaplah cinta pertama saya *halah. Sebagai pembaca, kita telah diciptakan untuk mencintai tokoh-tokoh rekaan para penulis. Maka,  antara Holmes dan Poirot memang sebaiknya tidak dibanding-bandingkan mana yang paling bagus dan mana yang paling keren. Keduanya sama-sama istimewa, hanya ditulis oleh dua penulis berbeda dalam kurun masa yang juga berlainan. Yang Sherlockian sejati, cobalah baca juga  Hercule Poirot dan juga Miss Marple (dengan ‘rempongisasinya' yang bikin kangen). Kepada Poirot fans, sempatkan juga baca Sherlock Holmes karena tidak bisa disangkal, Doyle adalah senior dalam tema kisah ini. Selayaknya, kita bersyukur karena dunia telah dianugerahi dengan para penulis-penulis hebat ini. Mereka yang telah membawa tokoh-tokoh luar biasa dalam dunia fiksi, untuk kita kagumi dan kita sukai serta turut mewarnai kehidupan masing-masing dengan cara dan bentuknya sendiri

1 comment:

  1. Saya pun awalnya kubu Poirot.
    Tapi kemudian harus mengakui bahwa Poirot pun lahir sedikit banyak berkat kemunculan Sherlock.
    Seperti kamu dan dia yang terbentuk dari luka-luka masa lalu sebelum kemudian dipertemukan Tuhan.
    -----
    *uhuk*
    Kalo kita ketemunya dulu, paling aku ngotot ke dikau kalo Poirot lebih baik dari Sherlock, Mas Dion.
    grin emotikon

    ReplyDelete